Senin, 26 Desember 2011

Cerpen Aku

DIA TERAMAT MALANG
            Pagi indah sekali di Payakumbuh. Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon akasia yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Sago muncul di atas warna-warna hijau kebiruan alam di sekitanya. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan gunung itu.
            Keindahan alam pagi itu saya potret dari dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya memotretnya. 
            Cepat-cepat saya bidikkan lensa ke arahnya. Melalui lensa, saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana, mengendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan di wajahnya yang tampak masih muda. Ia bahkan nampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan.
“Pisang goreng, masih panas,” katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongnya. Di balik kertas penutup baskom itu, kelihatan pisang goreng yang mengundang selera saya untuk memakannya.    
            Saya langsung saja mulai menikmati pisang gorang  bewarna kekuningan itu sambil berdiam diri. Pada suatu saat, saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. Betul saja. Dia menatap saya.
            “Andin, ya?” katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya. Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya? Siapa sih, dia? Rasa saya tidak mengenal siapa pun di sini.
            “Ayolah, Andin , seharusnya anda tidak melupakan saya, “sambungnya dengan suara lirih memelas, sambil menundukkan kepalanya
            Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa?
            “Anda lupa sama saya. Tari, Lestari ,” lanjutnya dengan wajah yang benar-benar menghancurkan perasaan.
            Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ingin menangis. Dia lestari taman sekelas saya di SD. Seingat saya dia sangat pintar. Dalam persaingan pelajaran dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya?
            Lama kami terdiam. Setelah menekan perasaan kuat-kuat, akhirnya saya memacahkan kesunyian dengan mulai bercerita tentang diri saya. Saya katakan bahwa saya sedang mendaki gunung. Kami serombongan sudah dua hari berkemah di situ, di bumi perkemahan milik PERHUTANI.
            “Anda kelihatannya senang, ya?” katanya tiba-tiba memotong cerita saya. “ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya kesempatan untuk menikmati hidup.”
            “Tapi, saya ... rasanya sudah semua hilang ....”
            “Anda ingat, ayah saya tukang cari pisang,” lanjutnya,” Ayah meninggal waktu saya kelas satu SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula, kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke Desa Pati, di sini. Kami coba membuka warung. Hasilnya pas-pasan, sementara kebutuhan makin besar. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba cari tambahan, itu baru kira-kira enam bulan setelah ayah meninggal.”
            Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan dapat terjadi.
            “Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran di Piladang. Tapi, ongkos pulang pergi ke sana telalu besar . Saya terpaksa berhenti bekerja dan membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Sayaberusaha keras keluar dari kesulitan itu, Dan inilah akhirnya,” katanya sambil menggerakkan kepalanya kearah baskom yang dipegangnya.
            “Adik-adikmu bagaimana?” tanya saya sesudah terdiam beberapa saat.
            “Alhamdulillah, sampai sekarang meraka masih bersekolah, tapi mereka juga ikut mencari tambahan, mengumpulkan daun cengkeh yang gugur disekitar sini.”
            “Ini hari sabtu, “tiba-tiba Tari memecah kesunyian,  “nanti, sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke Taman Ria. Mudah-mudahan saja saya banyak duit, “ sambungnya mencoba bercerita.
            Dia memberekan baskomnya kemudian siap pergi, “Saya harus pergi, Andin. Sampai ketemu lagi, “katanya.
            “Hei, tunggu, Tari. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan semua uang yang ada disaku saya.
            Matahari bersinar terik ketika saya kembali kekemah. Hawa dingin terasa segar dibadan. Puncak Gunung Sago mulai menghilang tertutup kabut. Alam Payakumbuh memang indah, tapi nasib Lestari membayangi perasaan saya.


(Ariandini)             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar